Penulis cerpen Amerika terkemuka, O. Henry, menulis sebuah kisah Natal tersohor. Kisah itu tentang sepasang suami-istri muda yang sedemikian saling mencintai. Natal sudah dekat dan mereka ingin saling memberikan hadiah. Tetapi mereka sangat miskin dan tidak mempunyai uang untuk membeli hadiah. Maka mereka masing-masing, tanpa saling memberi tahu, memutuskan untuk menjual miliknya yang paling berharga.
Bagi sang istri, harta miliknya yang paling berharga adalah rambutnya yang panjang berkilau. Ia pergi ke sebuah salon dan menyuruh memotong rambutnya. Kemudian ia menjual potongan rambutnya itu untuk membeli sebuah rantai arloji yang indah untuk arloji suaminya. Sementara itu, sang suami pergi kepada seorang tukang emas dan menjual satu-satunya arloji yang dimilikinya untuk membeli dua potong sisir yang indah untuk rambut kekasihnya.
Ketika hari Natal tiba, mereka saling menyerahkan hadiah. Mula-mula mereka menangis terharu, namun kemudian keduanya tertawa. Tidak ada lagi rambut yang perlu dirapikan dengan sisir indah pembelian sang suami, dan tidak ada lagi, arloji yang memerlukan seutas rantai indah pembelian sang istri. Tetapi ada sesuatu yang lebih berharga daripada sisir dan rantai arloji, yaitu pesan dibalik hadiah- hadiah itu; Mereka masing - masing telah mengambil yang terbaik dari dirinya untuk diberikan
kepada pasangannya...
Suatu hadiah bukanlah hadiah jika tidak menimbulkan suatu pengorbanan dalam diri kita, dan jika tidak menjadi bagian dari diri kita sendiri. Yesus memberikan dari-Nya yang terbaik untuk kita. Ia memberikan nyawa-Nya, untuk menebus dosa - dosa kita, untuk menyelamatkan hidup kita, supaya bisa tetap bersama dengan Dia untuk selama-selamanya. Apa yang aku berikan kepada-Nya yang terbaik, dariku..?
"Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat - sahabatnya. Kamu adalah sahabat-KU, jikalau kamu berbuat apa yang kuperintahkan kepadamu."(Yohanes 15 :13, 14)
Kamis, 27 Januari 2011
~How to be precious on the god's eyes? ~
“Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat.” ( Lukas 15:10)
Bukanlah suatu kebetulan jika pasal 15 Injil Lukas ini berbicara tentang perumpamaan sesuatu yang hilang: domba yang hilang (ayat 1-7), dirham yang hilang (ayat 8-10) dan anak yang hilang (ayat 11-32). Semuanya itu mengarah kepada suatu keseimpulan: apa pun keadaan dan bagaimana pun kondisi kita saat ini, Tuhan ingin kita tahu bahwa Ia sangat mengasihi kita dan kita sangat berharga di mataNya. Ini Tuhan tegaskan juga melalui nabi Yesaya, “Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau,…” (Yes 43:4).
Dia tidak menghendaki satu jiwa pun terhilang dan binasa. Jika tidak demikian, mana mungkin malaikat-malaikat bersukacita di Sorga ketika ada satu orang berdosa yang bertobat? Di dalam mazmurnya Daud pun mengungkapkan kekagumannya kepada Allah yang begitu peduli kepada manusia, “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.” (Mazmur 8:4-6).
Dan bukti nyata bahwa Allah sangat mengasihi manusia adalah saat Ia mengutus Putera-Nya turun ke dunia, berkorban bagi manusia.
Ketika salah satu dari anak-anakNya hidup semakin jauh dari Nya dan terhilang di tengah-tengah dunia yang penuh dosa, Dia sangat sedih dan berduka. Itulah sebabnya Tuhan selalu berusaha mendapatkan kita kembali, seperti seorang Bapa yang dengan setia menantikan si bungsu kembali pulang ke rumah, sehingga “…Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.”
(2 Petrus 3:9).
Tuhan sangat menaruh hati dan kerinduan-Nya terhadap kita. Dia juga rindu supaya kita yang sudah diselamatkan agar tidak “egois” dan mau ambil bagian menjangkau jiwa-jiwa yang ada di sekeliling kita yang sedang menuju kebinasaan. Membawa jiwa-jiwa yang terhilang untuk kembali kepada Tuhan adalah tugas yang harus kita kerjakan. Ini berarti kita harus bekerja dan menghasilkan buah
~Belajar Gagal Dari Seorang Sales~
Daripada Anda dihantui oleh kegagalan, maka saya sarankan Anda untuk merangkul kegagalan. Bagi manusia, kegagalan adalah sesuatu yang menakutkan, untuk itu agar bisa menerapkan ide merangkul kegagalan itu, maka perlu membuat penyesuaian besar atas sikap kita.
Mari kita mendefinisikan ulang kegagalan. Gagal bukanlah ketika Anda mencoba sesuatu yang baru atau berbeda dan ternyata itu tidak berjalan seperti yang Anda mau. Kegagalah hanyalah sebuah pengalaman pembelajaran. Lebih tepat, definisi kegagalan adalah ketika Anda bahkan tidak mau mencoba sesuatu yang baru dan menjanjikan karena dibelenggu oleh rasa takut.
Salah satu teladan mereka yang dapat merangkul kegagalan adalah apa yang dilakukan para sales handal. Pertama, seorang sales handal harus bersedia menanggung resiko – ini adalah esensi dari pekerjaan mereka. Setiap kali mereka mengunjungi calon pelanggan, kemungkinan besar mereka akan mendengar kata penolakan. Selain dapat mengecilkan hati, penolakan dapat memukul ego seseorang.
Seorang sales yang buruk akan kecil hati, kehilangan pengharapan atau bahkan berhenti mencoba karena sebuah penolakan. Tapi tidak demikian dengan seorang sales handal, dia akan menerima resiko itu, menanggung “kegagalan” tersebut dan terus maju untuk meraih penghargaan.
Kedua, sales handal tidak memasukkan dalam hati penolakan yang diterimanya. Penolakan bukan berarti mereka bodoh, tidak cakap atau tidak berharga. Jika mereka sudah melakukan presentasi dengan baik tapi tetap menerima penolakan, bisa saja berkaitan dengan produk mereka, keadaan ekonomi, atau beberapa faktor lain yang diluar kendali si sales.
Sebaliknya, seorang sales buruk akan menganggap penolakan sebagai penghakiman atas nilai diri mereka. Setelah menerima serangkaian respon yang buruk dari para pelanggan, seorang sales buruk bisa merasa hancur dan harga dirinya terkoyak-koyak.
Ketiga, seorang sales handal menolak untuk menerima kegagalan – dalam hal ini kata “tidak” dari pelanggan – sebagai sesuatu yang final. Mereka percaya dengan apa yang mereka jual, dan bersedia membantu pelanggan untuk mengerti produk mereka.
Hari ini, apa definisi kegagalan bagi Anda? Apakah sikap Anda seperti seorang sales yang handal atau sales yang buruk? Jika Anda ingin berhasil dalam kehidupan ini, terimalah resiko yang ada. Jangan masukkan kegagalan dalam hati, dan tolaklah kata “tidak” dalam hidup ini sebagai jawaban akhir. Jalanilah kegagalan sebagai proses belajar dalam mencapai kesuksesan sejati.
Mari kita mendefinisikan ulang kegagalan. Gagal bukanlah ketika Anda mencoba sesuatu yang baru atau berbeda dan ternyata itu tidak berjalan seperti yang Anda mau. Kegagalah hanyalah sebuah pengalaman pembelajaran. Lebih tepat, definisi kegagalan adalah ketika Anda bahkan tidak mau mencoba sesuatu yang baru dan menjanjikan karena dibelenggu oleh rasa takut.
Salah satu teladan mereka yang dapat merangkul kegagalan adalah apa yang dilakukan para sales handal. Pertama, seorang sales handal harus bersedia menanggung resiko – ini adalah esensi dari pekerjaan mereka. Setiap kali mereka mengunjungi calon pelanggan, kemungkinan besar mereka akan mendengar kata penolakan. Selain dapat mengecilkan hati, penolakan dapat memukul ego seseorang.
Seorang sales yang buruk akan kecil hati, kehilangan pengharapan atau bahkan berhenti mencoba karena sebuah penolakan. Tapi tidak demikian dengan seorang sales handal, dia akan menerima resiko itu, menanggung “kegagalan” tersebut dan terus maju untuk meraih penghargaan.
Kedua, sales handal tidak memasukkan dalam hati penolakan yang diterimanya. Penolakan bukan berarti mereka bodoh, tidak cakap atau tidak berharga. Jika mereka sudah melakukan presentasi dengan baik tapi tetap menerima penolakan, bisa saja berkaitan dengan produk mereka, keadaan ekonomi, atau beberapa faktor lain yang diluar kendali si sales.
Sebaliknya, seorang sales buruk akan menganggap penolakan sebagai penghakiman atas nilai diri mereka. Setelah menerima serangkaian respon yang buruk dari para pelanggan, seorang sales buruk bisa merasa hancur dan harga dirinya terkoyak-koyak.
Ketiga, seorang sales handal menolak untuk menerima kegagalan – dalam hal ini kata “tidak” dari pelanggan – sebagai sesuatu yang final. Mereka percaya dengan apa yang mereka jual, dan bersedia membantu pelanggan untuk mengerti produk mereka.
Hari ini, apa definisi kegagalan bagi Anda? Apakah sikap Anda seperti seorang sales yang handal atau sales yang buruk? Jika Anda ingin berhasil dalam kehidupan ini, terimalah resiko yang ada. Jangan masukkan kegagalan dalam hati, dan tolaklah kata “tidak” dalam hidup ini sebagai jawaban akhir. Jalanilah kegagalan sebagai proses belajar dalam mencapai kesuksesan sejati.
~History of The Civil Engineering Profession~
Engineering has been an aspect of life since the beginnings of human existence. The earliest practices of Civil engineering may have commenced between 4000 and 2000 BC in Ancient Egypt and Mesopotamia (Ancient Iraq) when humans started to abandon a nomadic existence, thus causing a need for the construction of shelter. During this time, transportation became increasingly important leading to the development of the wheel and sailing.
Until modern times there was no clear distinction between civil engineering and architecture, and the term engineer and architect were mainly geographical variations referring to the same person, often used interchangeably.[7] The construction of Pyramids in Egypt (circa 2700-2500 BC) might be considered the first instances of large structure constructions. Other ancient historic civil engineering constructions include the Parthenon by Iktinos in Ancient Greece (447-438 BC), the Appian Way by Roman engineers (c. 312 BC), the Great Wall of China by General Meng T'ien under orders from Ch'in Emperor Shih Huang Ti (c. 220 BC)[6] and the stupas constructed in ancient Sri Lanka like the Jetavanaramaya and the extensive irrigation works in Anuradhapura. The Romans developed civil structures throughout their empire, including especially aqueducts, insulae, harbours, bridges, dams and roads.
The Archimedes screw was operated by hand and could raise water efficiently.
In the 18th century, the term civil engineering was coined to incorporate all things civilian as opposed to military engineering.[5] The first self-proclaimed civil engineer was John Smeaton who constructed the Eddystone Lighthouse.[4][6] In 1771 Smeaton and some of his colleagues formed the Smeatonian Society of Civil Engineers, a group of leaders of the profession who met informally over dinner. Though there was evidence of some technical meetings, it was little more than a social society.
In 1818 the Institution of Civil Engineers was founded in London, and in 1820 the eminent engineer Thomas Telford became its first president. The institution received a Royal Charter in 1828, formally recognising civil engineering as a profession. Its charter defined civil engineering as:
the art of directing the great sources of power in nature for the use and convenience of man, as the means of production and of traffic in states, both for external and internal trade, as applied in the construction of roads, bridges, aqueducts, canals, river navigation and docks for internal intercourse and exchange, and in the construction of ports, harbours, moles, breakwaters and lighthouses, and in the art of navigation by artificial power for the purposes of commerce, and in the construction and application of machinery, and in the drainage of cities and towns.[8]
The first private college to teach Civil Engineering in the United States was Norwich University founded in 1819 by Captain Alden Partridge.[9] The first degree in Civil Engineering in the United States was awarded by Rensselaer Polytechnic Institute in 1835.[10] The first such degree to be awarded to a woman was granted by Cornell University to Nora Stanton Blatch in 1905.
~Civil Engineering~
Civil engineering is a professional engineering discipline that deals with the design, construction, and maintenance of the physical and naturally built environment, including works like bridges, roads, canals, dams, and buildings. Civil engineering is the oldest engineering discipline after military engineering, and it was defined to distinguish non-military engineering from military engineering. It is traditionally broken into several sub-disciplines including environmental engineering, geotechnical engineering, structural engineering, transportation engineering, municipal or urban engineering, water resources engineering, materials engineering, coastal engineering, surveying, and construction engineering. Civil engineering takes place on all levels: in the public sector from municipal through to federal levels, and in the private sector from individual homeowners through to international companies
~SEBELUM KAMU MENGELUH~
Hari ini sebelum kamu mengeluh tentang rasa dari makananmu, Pikirkan tentang seseorang yang tidak punya apapun untuk dimakan.
Sebelum Anda mengeluh tidak punya apa-apa, Pikirkan tentang seseorang yang harus meminta-minta di jalanan.
Sebelum kamu mengeluh bahwa kamu buruk, Pikirkan tentang seseorang yang berada pada tingkat yang terburuk di dalam hidupnya.
Sebelum kamu mengeluh tentang suami atau istri Anda, Pikirkan tentang seseorang yang memohon kepada Tuhan untuk diberikan teman hidup.
Hari ini sebelum kamu mengeluh tentang hidupmu, Pikirkan tentang seseorang yang meninggal terlalu cepat.
Sebelum kamu mengeluh tentang anak-anakmu, Pikirkan tentang seseorang yang sangat ingin mempunyai anak tetapi dirinya mandul.
Sebelum kamu mengeluh tentang rumahmu yang kotor karena pembantumu tidakmengerjakan tugasnya, Pikirkan tentang orang-orang yang tinggal di jalanan.
Sebelum kamu mengeluh tentang jauhnya kamu telah menyetir, Pikirkan tentang seseorang yang menempuh jarak yang sama dengan berjalan
Dan disaat kamu lelah dan mengeluh tentang pekerjaanmu, Pikirkan tentang pengangguran, orang-orang cacat yang berharap mereka mempunyai pekerjaan seperti Anda
Sebelum kamu menunjukkan jari dan menyalahkan orang lain, Ingatlah bahwa tidak ada seorangpun yang tidak berdosa,
Kita semua menjawab kepada Tuhan
Dan ketika kamu sedang bersedih dan hidupmu dalam kesusahan, Tersenyum dan mengucap syukurlah kepada Tuhan bahwa kamu masih diberi kehidupan
~HADIAH SEORANG MALAIKAT KECIL~
Pada suatu hari, di sebuah desa ada seorang nenek tua yang sakit-sakitan. Nenek tua ini hidup dari belas kasihan orang-orang. Nenek tua ini tinggal berdua dengan cucunya yang masih remaja karena dari kecil mamanya meninggalkannya dan papanya meninggalkan mamanya saat mamanya mengandung anak remaja ini. Singkat cerita dia sama sekali tidak mengenal orangtua-nya. Semenjak bayi, sang cucu dirawat dengan penuh kasih sayang dari sang nenek sampai tiba waktunya nenek itu sudah tua dan mulai sakit-sakitan. Anak remaja ini sangat sedih melihat kondisi neneknya dan ingin membawa neneknya ke rumah sakit namun tidak ada uang. Sedangkan untuk bersekolah saja tidak bisa, anak remaja ini sekolah sampai kelas 3 SMP. Desa yang ditempati oleh mereka adalah desa yang sangat jarang penduduknya dan merupakan desa terpencil. Dia tidak tahu harus bagaimana sementara kondisi neneknya makin parah.
Sementara cucunya ( anak remaja ini) berjalan kian kemari meminta pertolongan. Sambil mengamen di jalanan untuk biaya makan dan berobat neneknya, ada seorang anak TK yang melambaikan tangan ke arah anak remaja itu dari dalam mobil. Anak remaja itu melihat ke arah anak TK itu dan anak TK itu memanggilnya “Hai kak, ayo kemari”. Di tangan anak itu dipegangnya sebuah kantong plastik berwarna hitam lalu diberikannya.
Sang remaja ini heran dan membukanya dan ternyata nasi kotak dengan lauk yang enak. Sang remaja ini berpikir “Pas sekali, bisa dimakan untuk kami berdua dengan nenek.” Lalu anak remaja itu mengucapkan terima kasih kepada anak TK ini dan segera pergi membawanya kepada neneknya.
Namun, sementara anak remaja ini hendak pergi, sang anak TK itu memanggil lagi “Kak kemari!”. Lalu dia melap mukanya yang kotor dan bajunya yang kusam dan bau dan segera menghampiri anak TK ini.
Sang remaja berkata ” Ada apa dik ? ” Dia terheran-heran dengan anak TK ini. Lalu sang ayah membuka mobilnya dan segera turun menjumpainya. Anak remaja ini mulai ketakutan dan berkata ” Ada apa pak, apakah saya salah ?”
Lalu sang bapak segera tertawa dan mengajak remaja itu naik ke mobilnya bersama anaknya untuk pergi jalan-jalan ke mal. Spontan anak remaja itu menolak dan mengatakan “tidak usah, terima kasih. Di rumah saya ada seorang nenek yang sedang menunggu saya , namun dia sedang sakit keras, dia butuh pengobatan untuk kesembuhannya dan jikalau tidak maka nenek akan segera meninggal”.
Bapak itu terharu, sementara anaknya yang TK asyik merengek meminta anak remaja itu ikut . Bapak itu berkata “Nak, naiklah, kita pergi membeli pakaian untukmu dan kemudian kita segera pergi ke rumahmu dan membawa nenekmu ke rumah sakit.”
Remaja itu menangis seolah tidak percaya maka dia menanyakan ulang “Apa pak,benarkah demikian?”
Bapak itu mengatakan ” Betul nak, mari naiklah.”
Singkat cerita bapak itu naik dan kemudian dia baru menyadari bahwa bapak dan anak TK itu adalah orang Kristen. Kemudian remaja ini bertanya ” Pak, kenapa bapak dan anak bapak baik sekali pada kami orang pengamen?”
Lalu bapak itu tersenyum dan berkata “Nak, ini adalah hadiah terindah yang Tuhan berikan kepadamu yaitu lewat seorang anak TK yang memberikan nasi kotak yang dimilikinya untukmu dan terlebih lagi nenekmu akan segera sembuh dan kamu akan segera sekolah kembali dan tinggal di rumah kami yang besar.”
Remaja ini menangis terharu dan berkata “Terima kasih Tuhan, hari ini Engkau memberikan kepadaku malaikat kecil yang mau membantuku dan seorang bapak yang mau memperhatikan keadaanku.”
Dalam kehidupan ini banyak cara yang Tuhan pakai untuk menolong sesama yang kurang mampu. Tuhan akan mengirim malaikat-malaikat kecilnya untuk membantu sesama dan semua yang dilakukan kepada orang yang berkekurangan maka itu juga dilakukannya untuk kemuliaan nama Tuhan.
Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. (Matius 25:40).
~Meninggalkan Begitu Saja~
Setelah memenangkan medali perunggu pada Olimpiade 2004 di Athena, pegulat Rulon Gardner melepaskan kedua sepatunya, meletakkan di tengah matras, dan meninggalkannya sambil menangis. Air mata yang keluar oleh Gardner bukanlah karena dia kalah dari lawannya, tetapi karena dia harus mundur dari olahraga yang telah ditekuninya selama ini.
Akan ada waktunya kita semua meninggalkan sesuatu di dalam hidup ini, dan saat itu mungkin menyakitkan secara emosional. Seseorang yang kita kasihi meninggalkan kita lewat kematian atau anak kita yang masih kecil ketika besar akan meninggalkan rumah karena ingin membangun bahtera rumah tangganya sendiri bersama dengan orang yang dicintainya. Pekerjaan yang kita banggakan juga suatu saat harus ditinggalkan dan kita merasa seakan-akan telah meninggalkannya semua di belakang kita. Namun, jika kita mengenal Tuhan, kita hal itu tidak akan membuat kita takut untuk menapaki masa depan yang tak pasti.
Orang-orang Israel meninggalkan sesuatu yang sangat besar ketika Musa memimpin mereka keluar dari Mesir. Mereka meninggalkan beban berat perbudakkan, namun mereka juga meninggalkan segala hal yang stabil dan dapat diduga yang telah mereka kenali. Di kemudian hari, saat Tuhan berkata kepada Musa, Aku sendiri hendak membimbing engkau dan memberikan ketentraman kepadamu (Keluaran 33:14). Musa menjawab, jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini (ayat 15).
Pada saat menghadapi saat-saat yang paling sulit, kehadiran dan kedamaian Allah memberi kita kestabilan. Karena Dia menyertai kita, maka kita dapat berjalan menapaki masa depan dengan penuh keyakinan.
Setiap kehilangan yang meninggalkan kekosongan hanya dapat diisi oleh kehadiran Allah.
Akan ada waktunya kita semua meninggalkan sesuatu di dalam hidup ini, dan saat itu mungkin menyakitkan secara emosional. Seseorang yang kita kasihi meninggalkan kita lewat kematian atau anak kita yang masih kecil ketika besar akan meninggalkan rumah karena ingin membangun bahtera rumah tangganya sendiri bersama dengan orang yang dicintainya. Pekerjaan yang kita banggakan juga suatu saat harus ditinggalkan dan kita merasa seakan-akan telah meninggalkannya semua di belakang kita. Namun, jika kita mengenal Tuhan, kita hal itu tidak akan membuat kita takut untuk menapaki masa depan yang tak pasti.
Orang-orang Israel meninggalkan sesuatu yang sangat besar ketika Musa memimpin mereka keluar dari Mesir. Mereka meninggalkan beban berat perbudakkan, namun mereka juga meninggalkan segala hal yang stabil dan dapat diduga yang telah mereka kenali. Di kemudian hari, saat Tuhan berkata kepada Musa, Aku sendiri hendak membimbing engkau dan memberikan ketentraman kepadamu (Keluaran 33:14). Musa menjawab, jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini (ayat 15).
Pada saat menghadapi saat-saat yang paling sulit, kehadiran dan kedamaian Allah memberi kita kestabilan. Karena Dia menyertai kita, maka kita dapat berjalan menapaki masa depan dengan penuh keyakinan.
Setiap kehilangan yang meninggalkan kekosongan hanya dapat diisi oleh kehadiran Allah.
Langganan:
Postingan (Atom)